Asal-Usul Nama Blora, Antara Lumpur, Jurang, dan Filosofi Warung Kopi
Blora, Nama yang Melekat dari Lumpur
Kita perdalam dikit tentang asal-usul nama Blora. Kalau ada lomba “nama daerah paling lugas,” Blora mungkin juaranya. Bayangin aja, dalam cerita rakyat, kata Blora berasal dari belor alias lumpur. Dari belor jadi mbeloran, lalu dipendekkan jadi Blora.
Logikanya sederhana, tanahnya becek, jadi tempat itu dinamai dengan "becek". Gak beda sama orang yang dipanggil “gendut” karena emang badannya beneran gendut. Nggak ada sensor-sensoran.
Etimologi Blora, Wailorah → Bailorah → Balora → Blora
Kalau versi akademisnya lebih canggih. Nama Blora konon berasal dari kata Jawa Kuna,
-
Wai = air
-
Lorah = jurang / tanah rendah
Dulu disebut Wailorah = tanah rendah berair. Dalam perjalanan lidah Jawa yang suka ngirit, berubah jadi Bailorah, lalu Balora, dan akhirnya Blora.
Sama aja intinya, tanah cekung yang gampang jadi lumpur. Jadi, kalau orang tua bilang “asalnya dari belor”, sementara dosen bilang “asalnya dari wailorah”, dua-duanya bener. Cuma beda bahasa aja.
Geografi Blora, Kapur, Jurang, dan Sungai Musiman
Secara geografis, Blora terletak di peralihan Pegunungan Kendeng Utara dan Selatan. Tanahnya kapur, gampang pecah waktu kemarau, tapi becek lengket kalau hujan. Sungai-sungai musiman memahat jurang kecil, sementara air bawah tanah diam menyimpan rahasia.
Makanya nama Blora pas banget, tanah rendah berair, berlumpur, sekaligus jurang yang penuh pelajaran. Orang Jawa selalu menamai tempat sesuai karakter alamnya, dan Blora jadi cermin paling jujur dari tanah itu.
Filosofi Warung Kopi Stasiun, Ngibul tapi Ada Benarnya
Kalau dibahas di kelas sejarah, Blora = Wailorah.
Kalau dibahas di balai desa, Blora = Belor.
Kalau dibahas di warung kopi stasiun, lebih filosofis lagi,
“Lumpur itu ibarat nasib wong cilik. Susah dicuci, lengket, tapi justru di situlah padi bisa tumbuh. Blora iku jenenge Blora mergo wong kene wis ngerti, nasib iku kudu digarap, ben iso ditandur.”
Nah lho, sok ngibul tapi dalem kan?
Blora, Nama yang Apa Adanya
Blora mungkin terdengar sederhana, bahkan ndeso. Tapi di situlah kekuatannya. Blora bukan nama yang muluk-muluk, bukan hasil branding ala konsultan modern. Blora jujur dari awal, tanah berlumpur yang menghidupi manusia.
Seperti obrolan di warung kopi stasiun, kadang ngalor-ngidul, setengah serius, setengah ngibul, tapi kalau direnungkan pakai hati, ternyata ya ada benarnya juga.