Cepu Raya, Antara Imajinasi Kawasan dan Realita Pembangunan yang Mandek

 

Menko PMK menyampaikan gagasan Cepu sebagai Sleeping Giant kepada Bupati Blora di Stasiun Cepu, meski realita pembangunan daerah masih tertinggal

Wacana pembangunan kawasan Cepu Raya kembali mengemuka usai pertemuan singkat antara Bupati Blora, Dr. H. Arief Rohman, dan Menko PMK, Prof. Dr. Pratikno, di Stasiun Cepu, Senin (9/6/2025). Dalam pernyataannya, Menko PMK menyebut Cepu sebagai “Sleeping Giant”, dan menganggap kawasan ini layak menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, mencakup Blora, Bojonegoro, Tuban, dan Ngawi.

Namun, gagasan tersebut layak dikaji secara lebih kritis. Bukan untuk menolak kemajuan, tapi untuk memastikan arah pembangunan tidak sekadar menjadi narasi optimistik yang kehilangan akar realitas.

Potensi Cepu Sudah Lama Ada, Tapi Tak Pernah Tergarap

Cepu bukanlah entitas baru dalam wacana pembangunan nasional. Bahkan sejak masa Orde Baru, Cepu telah menjadi rumah bagi lembaga-lembaga strategis seperti PPSDM Migas, PEM Akamigas, Pertamina, dan Perhutani. Namun, kehadiran institusi-institusi besar tersebut selama puluhan tahun tidak pernah berhasil mengakselerasi pembangunan ekonomi rakyat di sekitarnya secara signifikan.

Pernyataan bahwa Cepu akan menjadi pusat ekonomi seolah melupakan fakta bahwa infrastruktur dan institusi tersebut sudah eksis sejak lama, namun nyaris tidak memberi dampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat setempat. Banyak warga Cepu yang masih bergantung pada sektor informal, pertanian kecil, dan pekerjaan kasar di luar daerah.

Hutan dan Migas Sudah Bukan Aset Utama

Sektor kehutanan dan migas yang dulu menjadi tumpuan utama, kini mengalami penurunan drastis dalam kontribusi terhadap ekonomi daerah. Hutan dikelola secara eksklusif oleh BUMN yang nyaris tanpa keterlibatan masyarakat lokal, bahkan kerap menimbulkan konflik sosial. Sementara cadangan minyak di kawasan Cepu juga semakin menipis dan dikendalikan oleh struktur bisnis yang tersentralisasi di luar daerah.

Menjadikan sektor-sektor ini sebagai tumpuan narasi pembangunan kawasan Cepu Raya hanya akan mengulang kegagalan masa lalu. Seharusnya, evaluasi mendalam dilakukan terhadap kenapa potensi yang sudah ada sejak lama tidak pernah dikelola untuk kemajuan lokal secara berkelanjutan.

Bahaya Bias Kabupaten dan "Overregionalisasi"

Wacana pembangunan kawasan berbasis Kabupaten seperti “Cepu Raya” berisiko menimbulkan bias sektoral dan administratif. Masing-masing daerah memiliki ego sektoral, struktur birokrasi sendiri, serta prioritas politik yang berbeda-beda. Tanpa badan koordinasi lintas daerah yang kuat dan independen, sinergi antar kabupaten akan cenderung menjadi formalitas belaka.

Lagi pula, penamaan “Cepu Raya” terasa problematik untuk skala kawasan lintas kabupaten. Cepu adalah kecamatan kecil di Kabupaten Blora. Menjadikannya sebagai ikon kawasan lintas kabupaten bisa dianggap menyederhanakan kompleksitas budaya, ekonomi, dan politik daerah-daerah lain seperti Bojonegoro, Tuban, dan Ngawi. Lebih tepatnya dikembalikan ke skala kecamatan, seperti konsep Kawasan Cepu Raya meliputi Kecamatan Sambong, Cepu, Kedungtuban, Kradenan, Randublatung dan Jati seperti semula. 

Solusi untuk Fokus pada Pembangunan Lokal dan Partisipasi Warga

Daripada memperluas narasi kawasan, sebaiknya Pemerintah Daerah fokus pada penguatan ekonomi lokal berbasis komunitas. Kembangkan koperasi rakyat, pertanian regeneratif, pendidikan vokasi yang menjawab kebutuhan pasar, serta digitalisasi ekonomi desa. Jangan hanya mengandalkan kehadiran institusi besar dan narasi megah, tetapi abaikan realita sosial masyarakat bawah yang membutuhkan solusi konkret, bukan retorika jangka panjang.

Saatnya Jujur pada Diri Sendiri

Cepu bukanlah Sleeping Giant, melainkan kawasan yang terlalu lama dibiarkan “tertidur” oleh perencanaan yang tidak membumi. Mengubahnya tidak bisa hanya lewat slogan, tetapi butuh pendekatan partisipatif, berakar pada kebutuhan lokal, dan menjauh dari ambisi politis sesaat. Mari kita bangun Cepu, bukan dengan jargon baru, tapi dengan keberpihakan yang nyata kepada rakyat kecil.