Truk ODOL Dilarang, Sopir Demo, Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan? Blogger Kawasan Cepu Raya Angkat Suara!

 

Sopir truk Blora gelar unjuk rasa di lapangan kridosono Blora, membawa spanduk kritis soal penerapan aturan ODOL

Truk-truk besar adalah pemandangan sehari-hari di ruas-ruas jalan Cepu, Sambong, Kedungtuban, hingga Randublatung. Mereka mengangkut hasil tambang, material proyek, hingga logistik kebutuhan pokok. Di balik kemudinya, ada wajah-wajah sopir tangguh yang kadang lebih lama menyatu dengan aspal ketimbang bersama keluarga.

Maka wajar, ketika ratusan sopir yang tergabung dalam PSBM turun ke jalan menolak aturan ODOL (Over Dimension Over Load), suara mereka layak didengar. Tapi... apakah menolak ODOL adalah pilihan yang bijak?

ODOL, Aturan yang Tak Perlu Dimusuhi

Harus kita akui: aturan tentang ODOL bukan dibuat asal-asalan. Jalan rusak, jembatan ambles, dan kecelakaan maut seringkali punya satu akar: kendaraan kelebihan muatan. Negara mengeluarkan biaya triliunan setiap tahun hanya untuk menambal jalan yang tak pernah benar-benar pulih. ODOL bukan cuma soal pelanggaran teknis, tapi soal keadilan fiskal dan keselamatan publik.

Jadi jika hari ini ODOL dianggap "menyusahkan sopir", mungkin masalahnya bukan pada aturannya, tapi pada siapa yang paling banyak menanggung resikonya.

Ketua DPRD Blora Mustopa dan Kapolres Blora Wawan

Siapa Diuntungkan dari ODOL?

Coba kita jujur: apakah benar para sopirlah yang menikmati kelebihan muatan itu? Bukankah mereka hanya mengantar barang sesuai perintah, dengan upah tetap, bahkan sering tanpa jaminan hukum? Sementara keuntungan besar dari ODOL bisa saja dinikmati pemilik armada besar, pemodal proyek, atau pengusaha logistik yang bermain hitungan tonase?

Bisa jadi, yang terjadi sekarang adalah semacam benturan kepentingan kelas, pemilik modal menggunakan kepatuhan sopir sebagai tameng, lalu mendesak pemerintah lewat jalur politik—termasuk ke DPRD kita yang notabene “teman sendiri”.

Para personel POLRES Blora yang amankan demo sopir Blora Cepu Raya tentang tolak aturan ODOL

Lalu Apa Sikap Kita?

Sebagai blogger dan bagian dari warga Cepu Raya yang akrab dengan truk-truk besar, kita tidak boleh menyalahkan sopir. Mereka hanya berjuang mencari nafkah. Tapi kita juga tidak bisa membiarkan publik luas jadi korban akibat jalan-jalan yang hancur gara-gara ODOL.

Kita perlu mendorong supaya :

  1. Negara hadir memberi transisi yang manusiawi. Jika aturan ODOL ditegakkan, maka beri solusi: subsidi konversi kendaraan, regulasi pemilik armada, bukan sekadar tilang di jalan.

  2. DPRD harus tegas berpihak ke rakyat banyak. Bukan hanya menyuarakan tuntutan sopir, tapi juga memastikan pengusaha tidak lepas tanggung jawab.

  3. Polres Blora tetap jadi penengah yang adil. Seperti yang sudah dilakukan Pak Kapolres Wawan, menjaga kondusifitas tanpa represif. Ini langkah maju yang layak diapresiasi.

  4. Sopir perlu dilibatkan dalam dialog kebijakan. Karena yang paling paham jalan, ya mereka yang hidup di atasnya.

Membangun Sistem yang Adil

ODOL bukan tentang melawan pemerintah, bukan juga soal membela sopir saja. Ini tentang membangun sistem logistik yang adil, aman, dan berkelanjutan. Sebagai masyarakat Blora yang waras, kita harus menghindari dikotomi: antara "pro rakyat" atau "pro pembangunan". Sebab pembangunan yang benar, pasti berpihak pada rakyat.

Kalau ada yang belum benar, mari kita benahi—bukan kita bakar.