⚔️ Menyelisik Bimtek Kepala Desa di Blora, Efisiensi atau Euforia?

Ruang Pelatihan di hotel mewah yang kosong dengan sampah kertas berserakan

Kabupaten Blora dikenal sebagai salah satu wilayah yang kaya potensi di Jawa Tengah, mulai dari sumber daya alam, budaya, hingga potensi ekonomi desa. Dalam konteks pemerintahan desa, keberadaan Dana Desa, program Bimtek (Bimbingan Teknis), dan pelatihan kapasitas SDM menjadi salah satu instrumen penting dalam mewujudkan desa yang mandiri dan maju. Namun demikian, pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut tidak selalu lepas dari kritik.

Salah satu isu yang mengemuka dalam beberapa waktu terakhir adalah kegiatan Bimtek Kepala Desa dan perangkatnya yang dinilai tidak efisien dan bahkan berpotensi pemborosan anggaran. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah kegiatan Bimtek Kepala Desa se-Kecamatan Ngawen yang digelar di luar daerah, yakni di Malang, Jawa Timur. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menyusun kembali laporan-laporan media dan memadukannya dengan dasar hukum, untuk menyelami lebih dalam: apakah Bimtek itu benar-benar kebutuhan, atau justru telah menjadi rutinitas yang menjauh dari prinsip efektivitas dan efisiensi?


✒️ Laporan Media, Ketika Bimtek Dipertanyakan

Menurut laporan KompasX (9 Juni 2025), kegiatan Bimtek yang diikuti oleh 27 Kepala Desa di Kecamatan Ngawen disorot tajam oleh Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Blora. Ketua LCKI, Rudi Eko Hariyanto, menyebut bahwa kegiatan tersebut menghabiskan anggaran lebih dari Rp 20 juta per desa, dengan total keseluruhan mencapai lebih dari Rp 600 juta, dan digelar di Malang, Jawa Timur.

Dalam laporan lain yang dimuat oleh Pertapakendeng (8 Juni 2025), LCKI menyatakan bahwa kegiatan tersebut berpotensi menjadi bentuk pemborosan karena seharusnya bisa dilakukan di Blora.

“Ini pemborosan anggaran, karena kegiatan seperti ini dapat dilaksanakan di Blora. Tidak harus ke luar daerah,” ujar Rudi sebagaimana dikutip dari Pertapakendeng.

Tak hanya itu, LCKI bahkan mendesak Dinas PMD Blora untuk membuka secara transparan Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan rundown kegiatan, sebagai bentuk tanggung jawab publik terhadap penggunaan dana pemerintah.


⚖️ Perspektif Dasar Hukum dan Tata Kelola

Untuk memahami apakah kegiatan Bimtek tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola keuangan desa yang baik, mari kita cermati beberapa dasar hukum berikut:

  1. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa

    • Pasal 2, Keuangan desa dikelola berdasarkan asas transparan, akuntabel, partisipatif, serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran.

  2. Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Penghematan Anggaran

    • Menekankan pentingnya efisiensi anggaran, terutama kegiatan perjalanan dinas, bimtek, dan rapat di luar daerah.

  3. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

    • Pasal 24, Pemerintahan desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan masyarakat desa.

Dengan merujuk pada regulasi tersebut, kegiatan Bimtek yang dilakukan secara rutin di luar daerah memang patut dipertanyakan efektivitas dan urgensinya. Apalagi jika tidak ada laporan hasil yang bisa diukur atau ditindaklanjuti oleh masyarakat desa.

Koper pelatihan yang malah berisi brosur wisata dan sandal hotel

🏛️ Apakah Kepala Desa Tidak Butuh Pelatihan?

Pertanyaan ini tentu tidak dapat dijawab dengan serta-merta. Dalam konteks reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik di desa, pelatihan dan peningkatan kapasitas memang sangat dibutuhkan. Namun, yang menjadi masalah adalah bukan pelatihannya, melainkan cara dan tempat pelaksanaannya.

Di banyak kabupaten, termasuk Blora, kegiatan pelatihan seringkali berubah wajah menjadi acara pelesiran berjubah resmi. Ini bisa dimaklumi, karena siapa yang tak senang ke luar kota, menginap di hotel, dan makan enak? Tapi rakyat tidak meminta pejabat desa jadi turis. Rakyat ingin pelayanan yang lebih baik dan transparan.


🎭 Dampak Sosial dan Psikologis di Masyarakat

Ketika masyarakat desa tahu bahwa ratusan juta dihabiskan untuk mengirim rombongan ke luar kota, sementara mereka masih kesulitan air bersih, jalan rusak, atau pengurusan surat menyurat yang lamban, muncul rasa kecewa yang tak terucap. Ada ketimpangan persepsi: pemerintah bilang itu bagian dari peningkatan kapasitas, masyarakat melihat itu sebagai bentuk pemborosan.

Rasa percaya masyarakat bisa terkikis bukan karena satu dua kegiatan, tetapi karena pola yang terus berulang. Maka, mengoreksi hal seperti ini bukan berarti membenci kepala desa, tapi justru menghormati martabat kepala desa agar tidak disalahpahami sebagai pemimpin yang hanya menikmati fasilitas.

Peserta bimtek dari Desa di hotel berbintang yang memilih tidur daripada mengikuti sesi pelatihan

📌 Rekomendasi, Mewujudkan Bimtek yang Transparan dan Efisien

Agar kegiatan pelatihan benar-benar berdampak positif dan tak menimbulkan kecurigaan, beberapa langkah berikut bisa dipertimbangkan:

  1. Bimtek Terbuka dan Terjadwal di Wilayah Sendiri

    • Gunakan aula kecamatan atau pendopo kabupaten sebagai tempat pelatihan. Undang fasilitator profesional dari luar jika perlu, tapi tetap efisien secara logistik.

  2. Publikasi RAB dan Materi Bimtek

    • Agar warga tahu apa yang dipelajari pemimpinnya, dan berapa biayanya.

  3. Evaluasi Terbuka Pasca-Bimtek

    • Kepala Desa wajib mempresentasikan hasil pelatihan di forum desa agar ilmu yang diperoleh tidak hanya berhenti di hotel, tapi dibagikan dan dipraktikkan.

  4. Libatkan Lembaga Pengawasan Independen

    • Seperti LCKI, media lokal, atau akademisi kampus setempat untuk meninjau efektivitas kegiatan.


🏗️ Sesarengan Mbangun Blora Tanpa Gimik

Kami yang menulis ini tidak membenci pejabat, tidak pula iri dengan perjalanan dinas. Kami hanya menaruh harap, agar dana publik digunakan dengan bijak dan penuh tanggung jawab moral. Karena kepala desa bukan sekadar jabatan struktural, tapi simbol wajah negara di tingkat paling bawah.

Jika pelatihan betul-betul dibutuhkan, maka mari kita desain yang bermanfaat, hemat, dan menyentuh kebutuhan rakyat. Jangan sampai karena ingin belajar, justru lupa bahwa rakyat pun sedang menanti hasil dari setiap pelatihan itu.

Blora itu hebat. Mari jaga kehebatannya agar tidak pudar oleh prasangka dan gaya hidup birokrasi yang tak lagi relevan di tengah rakyat yang semakin cerdas.

Blora Maju, kalau semua diajak maju. Bukan cuma yang dekat anggaran.

Disklaimer: Tulisan ini merupakan catatan reflektif dari Blogger Kawasan Cepu Raya yang ingin agar pembangunan Blora benar-benar berjalan secara partisipatif, adil, dan berkelanjutan. Setiap kutipan yang disebutkan bersumber dari media online yang kredibel dan dapat ditelusuri. Tujuan utama tulisan ini adalah untuk membuka ruang dialog dan refleksi bersama, bukan untuk menyudutkan pihak tertentu.