SP4N LAPOR Masih Asing di Telinga Publik, Belum Menyentuh Akar Rumput

 

Kebingungan masyarakat Kawasan Cepu Raya karena terlalu banyak aplikasi Lapor Online

Sebuah ironi tengah bergulir di balik semangat reformasi pelayanan publik. Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional – Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat, atau yang dikenal dengan SP4N-LAPOR!, masih terasa asing di telinga rakyat. Bahkan, bagi sebagian besar masyarakat menengah ke bawah, nama program ini terdengar lebih seperti akronim kementerian daripada saluran pengaduan yang bisa diakses kapan saja. Di Kabupaten Blora misalnya, dalam rentang hampir setengah tahun, jumlah aduan yang tercatat hanya mencapai 31 laporan. Sementara kehidupan warga terus bergulir dengan kompleksitas persoalan sosial, birokrasi, dan layanan dasar.

❌ Koordinasi Jalan, Sosialisasi Jalan di Tempat

Rabu pagi, 25 Juni 2025, jajaran Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) Kabupaten Blora menggelar rapat koordinasi bersama admin SP4N-LAPOR! dari seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Kepala Dinkominfo, Pratikto Nugroho, menekankan agar setiap laporan yang masuk tidak diabaikan. Penekanan itu benar dan tepat. Tetapi pertanyaan mendasarnya adalah : sejauh mana masyarakat tahu bahwa kanal ini tersedia? Rapat koordinasi internal tanpa dibarengi kampanye ekternal hanya akan menjadikan program ini hidup di ruang rapat, namun mati di tengah masyarakat.

Warga desa, buruh tani, pedagang kaki lima, hingga pegawai swasta di kawasan Blora, Sambong, Cepu, atau Kedungtuban barangkali tak tahu bahwa mereka bisa menyuarakan keluhan pelayanan publik lewat kanal resmi milik negara. SP4N-LAPOR!, LaporGub, Gardu Lapor Mas Arief, hingga aduan media sosial—semuanya terdengar megah, namun membingungkan. Masyarakat justru lebih memilih menumpahkan keluh kesahnya ke grup WhatsApp RT, ketimbang membuka laman pemerintah yang asing tampilannya.

Rakor SP4N Lapor Dinkominfo Kabupaten Blora Juni 2025

❌ Inovasi Tak Berjiwa, Tak Ada Kedekatan dengan Publik

Tujuan dari SP4N-LAPOR! memang baik : menjamin bahwa semua aduan, dari manapun datangnya, akan sampai pada pihak berwenang. Namun sistem yang dibangun pemerintah pusat ini terlalu steril. Tidak ada unsur pendekatan emosional, tidak juga dibarengi pendekatan sosial yang membumi. Tanpa narasi yang menyentuh hati, masyarakat sulit merasa memiliki. Padahal, pengaduan publik sejatinya lahir dari relasi personal antara warga dan negara.

Ketiadaan duta publik, keringnya kolaborasi dengan tokoh lokal, serta tiadanya loket offline sebagai jembatan pengaduan, membuat SP4N-LAPOR! hanya hidup dalam dunia maya yang sunyi. Ini menjadi alarm bagi sistem pelayanan publik digital : bahwa aplikasi canggih tak akan berguna tanpa jembatan sosial yang kuat.

❌ Ketika Data Tak Mewakili Realita

Per 24 Juni 2025, data yang dirilis Dinkominfo Blora menyebutkan ada 31 aduan yang masuk melalui SP4N-LAPOR! Sejumlah 17 laporan telah didisposisikan ke OPD, 10 lainnya dikategorikan tidak lengkap, dan sisanya laporan berulang atau dikembalikan ke provinsi. Dari situ, hanya 10 laporan yang betul-betul tuntas.

Angka ini menimbulkan tanya : mungkinkah hanya 31 masalah publik yang terjadi di Kabupaten Blora selama hampir enam bulan terakhir? Atau, lebih realistisnya, mungkinkah sistem pelaporan yang tidak mampu menjangkau realitas lapangan?

Saat pelayanan publik masih menjadi isu klasik, mulai dari antrean panjang di Puskesmas, jalan rusak antar kecamatan, hingga pungutan liar berkedok administrasi, jumlah aduan yang stagnan justru mencerminkan satu hal : rakyat tidak tahu ke mana harus mengadu.

Terlalu banyak inovasi berbasis online membuat masyarakat Kawasan Cepu Raya makin bingung saja

❌ Mimpi Pelayanan Berkelas Dunia Tak Butuh Aplikasi Saja

Pemerintah menargetkan terwujudnya pelayanan publik berkelas dunia. Tapi pelayanan kelas dunia tidak bisa dibangun hanya dengan sistem daring. Ia membutuhkan kehadiran nyata di lapangan, empati petugas, dan dialog antar manusia. Tanpa itu semua, SP4N-LAPOR! hanya menjadi aplikasi yang diunduh, bukan dihidupi.

Masyarakat kecil membutuhkan interaksi yang humanis. Mereka ingin tahu siapa yang menerima aduan mereka, bagaimana aduannya diproses, dan apa tindak lanjut yang bisa mereka harapkan. Sayangnya, SP4N-LAPOR! tidak menyediakan mekanisme komunikasi dua arah yang hangat. Semua serba mekanistik, berbasis sistem kerja mandatori yang kaku, seakan lupa bahwa pelapor bukan angka, melainkan manusia.

✅ Tugas Pemerintah Daerah, Membumikan, Bukan Sekadar Menjalankan

Selayaknya pemerintah daerah tidak hanya menjalankan amanat pusat, tetapi membumikan program agar menyatu dengan kultur lokal. SP4N-LAPOR! bisa saja menjadi jembatan partisipasi publik yang efektif—asal dikelola dengan semangat lokalitas.

Perlu ada sinergi dengan pemerintah desa, komunitas pemuda, penggiat literasi, dan tokoh masyarakat sebagai perpanjangan tangan sistem. Jika perlu, hadirkan “duta pengaduan publik” di tiap kecamatan yang bertugas menjembatani masyarakat dengan SP4N-LAPOR! secara luring.

Di saat yang sama, hasil dan proses tindak lanjut pengaduan harus transparan. Data real-time tentang status aduan, siapa penanggung jawabnya, serta batas waktu penyelesaian perlu dipublikasikan secara terbuka. Inilah bentuk pertanggungjawaban publik yang sebenarnya.

✅ Aplikasi Pintar Butuh Kearifan Sosial

SP4N-LAPOR! bukanlah proyek gagal. Program ini adalah gagasan yang lahir dari semangat reformasi birokrasi. Tapi untuk menjadi alat perubahan, sistem ini harus dijiwai oleh realitas sosial tempat sistem itu tumbuh. Perlu sentuhan emosi, komunikasi yang hangat, serta komitmen lokal untuk menjadikannya hidup dan berguna.

Ketika digitalisasi pelayanan publik hanya berhenti pada peluncuran aplikasi tanpa membangun budaya keterbukaan dan literasi warga, maka mimpi pelayanan berkelas dunia hanya akan menjadi jargon yang lelah kita dengar, namun tak pernah benar-benar kita rasakan.

🛑 Disclaimer Blogger Kawasan Cepu Raya

Tulisan ini disusun secara independen oleh Blogger Kawasan Cepu Raya sebagai bentuk partisipasi warga dalam mengkritisi kebijakan publik. Semua opini, analisis, dan tanggapan yang termuat adalah hasil pengamatan, pembacaan data, serta aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat kawasan Sambong, Cepu, Kedungtuban, Kradenan, Randublatung, dan Jati – Kabupaten Blora.

Kami tidak berafiliasi dengan partai politik, lembaga pemerintah, maupun kelompok kepentingan tertentu. Kritik yang disampaikan bersifat konstruktif, demi mendorong perbaikan pelayanan publik yang lebih adil, transparan, dan membumi.

Apabila terdapat data atau kutipan yang kurang tepat, pembaca dipersilakan memberi koreksi atau klarifikasi melalui saluran komunikasi resmi yang tersedia. Semangat kami tetap satu : "Rakyat Bersuara, Pemerintah Mendengar".