-->

Aku Begundal Blora di Jantung Kota Paris

Blora, di tengah belantara hutan jati yang seakan tak berujung. Setiap pagi, kabut tipis turun perlahan, menyelimuti batang-batang jati yang menjulang, tegak laksana tiang-tiang raksasa yang menyangga langit.

Hutan itu bukan sekadar hamparan pohon. Ia adalah kitab sunyi, halaman-halamannya ditulis dengan darah dan keringat rakyat. Di sela akar jatinya terkubur kisah tentang para pembangkang yang memilih berdiri tegak melawan kekuasaan.

Di sanalah aku pertama kali mengenal nama Samin Surosentiko, lelaki yang melawan penjajah tanpa pedang, tanpa teriak, hanya dengan kata-kata sederhana:

"Bumi, air, dan kekayaan alam bukan untuk dijual, tapi diwarisi bersama."

Aku tumbuh dengan cerita itu, mendengar desah kata-kata Pramoedya Ananta Toer, yang menulis dengan kemarahan dan cinta yang sama besarnya, menjadikan kalimat sebagai peluru yang tak pernah habis.

Aku mengenal Tirto Adhi Soerjo, lelaki yang menjadikan pena sebagai pedang, dan surat kabar sebagai medan pertempuran.

Blora, mungkin sunyi, tapi ia menyimpan bara yang tak pernah padam, dari tanah yang tenang di permukaan, namun di dalamnya, api perlawanan membara.

Kini aku berdiri di Paris, jantung Eropa. Gemerlap lampu kotanya seperti seribu bintang yang jatuh ke bumi. Di tepi Sungai Seine, bangunan klasik menjulang anggun,menantang waktu yang lewat tanpa daya untuk meruntuhkannya. Di Champs-Élysées, orang-orang berjalan cepat, seakan mengejar masa depan yang tak pernah berhenti berlari.

Paris adalah panggung dunia, tempat revolusi lahir dan darah rakyat mengalir di jalan-jalan batu. Di sinilah, pada 1789, suara orang biasa mengguncang istana, menggulingkan Raja Louis XVI, dan meneriakkan kata yang masih menggema hingga kini:

“Liberté, Égalité, Fraternité!”

Aku menatap Menara Eiffel yang menjulang. Ia seperti pedang yang menancap di dada langit, dan aku merasa diriku hanyalah bayangan yang nyaris tak terlihat di bawahnya.

Jika Paris adalah simfoni yang dimainkan oleh orkestra megah, maka Blora adalah dendang sunyi suara jangkrik di sawah. Paris lahir dari ledakan revolusi teriakan yang mengguncang dunia. Blora, sebaliknya, melawan dengan bisikan dan kesabaran, seperti api kecil yang membakar perlahan dari dalam.

Di Paris, revolusi dipahat menjadi patung dan monumen. Di Blora, ia hidup di cerita rakyat yang dibisikkan di beranda rumah kayu, di dongeng yang dituturkan di bawah sinar lampu minyak. Namun roh keduanya sama:

"keinginan manusia untuk merdeka, untuk hidup dengan martabat"

Malam ini, aku duduk di sebuah kafe tua di tepi Sungai Seine. Asap kopi mengepul, samar seperti kabut pagi di hutan jati. Di tengah riuh percakapan, dunia tiba-tiba terasa kabur, dan bayangan-bayangan yang selama ini hanya hidup di buku hadir di sekelilingku.

Di sudut meja itu, Pramoedya Ananta Toer duduk tegak, kemejanya lusuh, kacamata tebalnya berkabut oleh uap kopi. Di sebelahnya, Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis yang tak pernah melepaskan rokok dari bibirnya. Mereka berbicara, seolah waktu hanyalah garis tipis yang bisa dilewati, dan aku dengar percakapan mereka;

Sartre:

"Pram, manusia adalah makhluk yang dikutuk untuk bebas. Ia dilemparkan ke dunia tanpa pegangan, lalu harus menciptakan maknanya sendiri."

Pram:

"Di tanahku, kebebasan lahir dari penjara. Tubuh dirantai, tetapi pikiran tetap merdeka. Aku menulis bukan untuk diriku, tetapi untuk memberi suara pada mereka yang dibungkam."

Sartre:

"Maka tulisanmu adalah pemberontakan."

Pram:

"Dan revolusimu adalah pena yang kau celupkan dalam darah sejarahmu sendiri."

Dari kejauhan, seorang lelaki bersarung kain lurik melangkah pelan. Ia tersenyum lembut, matanya dalam seperti sumur tua. Samin Surosentiko.

Tangannya kosong, tapi kekuatannya tak kasat mata.

Samin:

"Aku melawan tanpa pedang, tanpa panji-panji. Aku hanya berkata: bumi dan air bukanlah milik siapa pun. Itulah revolusiku."

Sartre menatapnya seperti melihat mimpi yang jadi nyata.

"Kau seperti Rousseau dari tanah jauh, percaya pada kesederhanaan manusia yang bebas dari tirani."

Samin tersenyum samar.

"Aku tak kenal Rousseau, tapi aku sangat kenal penderitaan rakyatku."

Di sudut lain, Tirto Adhi Soerjo duduk bersama Voltaire.

Dua pena bersilangan di udara, lebih tajam dari ribuan pedang.

Voltaire:

"Aku akan membela hakmu untuk berbicara, bahkan jika aku tak setuju dengan isi ucapanmu.

Tirto:

"Di negeriku, kata-kata bisa menjatuhkanmu ke penjara. Tapi selama ada pena, selalu ada perlawanan."

Voltaire mengangkat cangkir anggurnya.

"Maka kita adalah saudara seperjuangan."

Tak jauh dari mereka, Kartosuwiryo dan Robespierre berdebat sengit, tentang revolusi yang memakan anak-anaknya sendiri. Aku hanya mendengar potongan kata: darah, pengorbanan, pengkhianatan.

Ketika bayangan itu sirna, aku tersadar. Di dadaku, sesuatu membara. Aku melihat dengan jelas: Blora dan Paris bukan dua dunia yang terpisah. Mereka adalah cermin satu sama lain. Di Blora, perlawanan tumbuh dalam diam, seperti akar jati yang menghunjam bumi.

Di Paris, perlawanan meledak seperti kilat yang membelah langit...dan aku adalah begundal Blora, pewaris suara Samin yang sunyi, Pram yang lantang, dan Tirto yang tajam.

🍻XCROT🍻

Pimum Persdigi