-->

Arya Penangsang, Membaca Ulang Sejarah dari Jipang Cepu Raya

 

Arya Penangsang simbol perlawanan wong cilik Jipang

Selama ini Arya Penangsang hanya dikenal lewat stigma keras, bengis, haus tahta. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam, terutama dari sudut Jipang Cepu Raya, narasi itu menyimpan bias besar. Sejarah alternatif justru menyingkap wajah Arya Penangsang sebagai pemimpin sejati pembela wong cilik, bahkan berani turun sendiri menghadapi ratusan prajurit hanya karena seorang buruh dilukai dan dipermalukan.


Siapa yang Menulis, Siapa yang Menang?

Sejarah Jawa abad ke-16 penuh drama, perebutan tahta Demak, konflik internal keraton, lahirnya Pajang, hingga kemudian munculnya Mataram Islam. Nama besar para tokoh seperti Raden Patah, Pangeran Trenggana, Jaka Tingkir, hingga Sultan Agung terus dikenang dalam naskah, babad, dan pentas budaya. Namun, ada satu nama yang hampir selalu muncul dengan stigma antagonis, yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Penangsang.

Adipati (Bupati dari keturunan Raja Jawa) Jipang ini kerap digambarkan sebagai tokoh bengis, haus darah, penuh ambisi, bahkan “pemberontak” terhadap Demak. Dari pentas ketoprak sampai film modern, narasi itu terus dipelihara. Publik pun percaya begitu saja bahwa Arya Penangsang memang antagonis dalam sejarah Jawa.

Tetapi apakah benar demikian?

Sejarah bukanlah catatan netral. Sejarah adalah narasi politik yang sering kali disusun oleh pihak pemenang. Dalam kasus Arya Penangsang, pemenang itu adalah Pajang—dan kemudian Mataram—yang jelas punya kepentingan menurunkan martabat Jipang, dejipangisasi. Maka, membaca ulang Arya Penangsang tak sebatas menggali masa lalu, tapi juga melawan bias sejarah.


Genealogi dan Legitimasi

Arya Penangsang adalah anak dari Raden Kikin, putra laki-laki Raden Patah pertama. Raden Patah sendiri, anak Brawijaya V (raja terakhir Majapahit). Dari jalur ayahnya, ia cucu langsung Majapahit. Dari jalur ibunya, ia cucu Brawijaya V juga. Ibu Arya Penangsang adalah Putri Ayu Dyah Retno Panggung putri dari Ratu Ayu Dyah Kumolo (Adipati Perempuan dari Jipang) putri dari Brawijaya V.

Di sinilah paradoks itu muncul. Musuh-musuhnya sering menyudutkannya karena darah campuran, seakan-akan ia tidak “murni Jawa”. Padahal, justru sebaliknya, Arya Penangsang lebih Njawani daripada banyak bangsawan Pajang. Sebab, Pajang lahir bukan dari garis keturunan Majapahit, melainkan dari legitimasi politik Jaka Tingkir.

Ironisnya, darah campuran yang dijadikan bahan delegitimasi adalah bukti asli sejarah Nusantara, bahwa Jawa selalu menjadi titik temu percampuran budaya, etnis, dan agama. Menolak Arya Penangsang karena “berdarah Cina” sama saja menolak kenyataan sejarah Raden Patah.


Narasi Mainstream dari Babad

Mari kita ringkas gambaran Arya Penangsang dalam Babad Tanah Jawi dan kisah populer, beliau dikenalkan sebagai sosok :

  1. Ambisius. Ia digambarkan ingin merebut tahta Demak dengan segala cara, meskipun dia sebenarnya ahli waris sah tahta Demak maupun Majapahit.

  2. Bengis. Disebut-sebut tega menyiksa rakyat dan lawan politiknya bahkan sering merekayasa pembunuhan dengan memakai jasa preman.

  3. Kalah tragis. Ia digambarkan gugur karena kecerobohannya sendiri, terpotong ususnya akibat keris Kyai Setan Kober, kerisnya sendiri, padahal catatan sejarah mengatakan bahwa Arya Penangsang pernah menjabat sebagai panglima angkatan laut Demak sewaktu muda. 

Narasi ini diulang-ulang sampai melekat di benak masyarakat Jawa. Bahkan dalam pertunjukan ketoprak, nama Arya Penangsang hampir selalu identik dengan tokoh antagonis.

Tetapi ada yang janggal! Narasi ini terlalu rapi! Semua kebaikan seakan diambil oleh Pajang, sementara semua keburukan ditimpakan pada Jipang. Inilah tanda klasik dari “sejarah pemenang”.


Kisah yang Dilupakan, Buruh Rumput dan Telinganya

Di antara cerita besar soal perang dan tahta, ada kisah kecil yang jarang diangkat. Konon, saat penyerangan ke Jipang, Juru Martani menangkap seorang pencari rumput di wilayah Jipang, diiris telinga kanannya. Dikalungkan surat tantangan untuk Arya Penangsang yang sebenarnya ditulis Juru Mertani sendiri dengan memalsukan tulisan Hadiwijaya. Siapa yang licik tak punya hati?

Seorang buruh yang terluka mengadu ke Arya Penangsang. Penangsang murka, bukan hanya karena surat tantangan, tapi cara yang dipakai Pajang menyampaikan surat tantangan, karena tetesan darah seorang pekatik kuda atau buruh pencari rumput untuk kuda yang disiksa.

Bagi seorang bangsawan feodal biasa, peristiwa itu mungkin sepele. Wong cilik toh hanya pelengkap. Tapi tidak bagi Arya Penangsang. Ia melihat peristiwa itu sebagai pelecehan terhadap martabat wong cilik. Tanpa banyak pikir, ia turun sendiri ke medan laga, menghadapi ratusan prajurit Pajang demi membela seorang buruh rumput.

Kecerobohan penulisan babad ini membalik segalanya!. Arya Penangsang tidak hanya marah karena istananya diganggu, bukan pula karena harga dirinya sebagai bangsawan dihina. Ia marah karena rakyat jelata, seorang buruh dipersekusi militer Pajang.

Pertanyaannya, apakah sikap seperti ini bisa disebut “kejam”? Justru sebaliknya! Dari sinilah moralitas seorang pemimpin ditandai!


Apa Kata Feodalisme?

Bagi Pajang dan Mataram, kejadian itu mungkin dianggap insiden kecil. Wong cilik, orang kecil, seorang buruh dipotong telinganya oleh petinggi militer? Ya sudah. Itu konsekuensi jadi rakyat jelata.

Tetapi bagi Jipang, ini penistaan besar. Dalam tradisi Jawa pun secara implisit mengatakan, berdirinya sebuah negara sah jika ada rakyatnya ada penduduknya, dan rakyat itu harus merasa dilindungi, diayomi. Seorang raja sejati bukan hanya pewaris darah biru, tetapi juga pangayom (pelindung) dan pamomong - pamong (pengayom batin).

Sejarah feodalisme Mataram sering kali menomorduakan rakyat kecil, menempatkan mereka hanya sebagai obyek pajak dan tenaga kerja. Tidak heran jika kisah telinga seorang buruh rumput itu diabaikan, dianggap biasa dari sebuah narasi yang sebenarnya amat besar. Karena kalau kisah itu terus diingat, akan muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang lebih “raja” dalam arti Jawa—Pajang atau Jipang?


Analisis Politik Narasi

Mengapa Arya Penangsang harus dijatuhkan citranya?

  1. Karena legitimasinya kuat.

    • Sebagai cucu langsung Brawijaya V, ia punya klaim sah atas warisan Majapahit.

    • Jika rakyat Jawa mengingat hal ini, legitimasi Pajang bisa runtuh.

  2. Karena ia dekat dengan wong cilik.

    • Pajang dan Mataram mengandalkan sistem feodal.

    • Arya Penangsang menunjukkan model kepemimpinan alternatif, pemimpin yang marah demi wong cilik.

  3. Karena sejarah selalu milik pemenang.

    • Babad ditulis oleh pujangga Mataram.

    • Mereka menyusun narasi agar junjungan mereka tampak agung, sementara lawan junjungan mereka tampak jahat luar biasa, ahli neraka wel.


Filosofi Kepemimpinan Jawa

Dalam tradisi Jawa, sahnya seorang raja ditentukan oleh tritangtu, yaitu :

  1. Garis keturunan. Ia harus berasal dari darah bangsawan sah.

  2. Karisma pribadi. Ia harus mampu memimpin dengan wibawa.

  3. Relasi dengan rakyat. Ia harus mampu ngayomi wong cilik.

Arya Penangsang memenuhi ketiganya :

  • Ia keturunan Brawijaya V dari jalur ayah maupun ibu.

  • Ia berani, tegas, turun sendiri ke medan perang.

  • Ia membela rakyat kecil bahkan ketika hanya seorang buruh rumput yang dipermalukan.

Maka, kalau kita gunakan kriteria Jawa sendiri, Arya Penangsang justru lebih sah sebagai raja daripada Jaka Tingkir.


Membandingkan Narasi

AspekVersi Babad Mataram/PajangVersi Alternatif Jipang Cepu Raya
Legitimasi darahLemah karena ada darah CinaSah karena keturunan Brawijaya V
KarakterBengis, haus tahta, suka kekerasanTegas, berani, membela wong cilik
Peristiwa buruh rumputDianggap insiden kecilPuncak moralitas kepemimpinan
Hubungan dengan rakyatJauh dari rakyatDekat, marah demi wong cilik
Warisan sejarahPemberontak gagalSimbol perlawanan anti-feodalisme

Tafsir Alternatif dari Cepu dan Jipang Raya

Di Cepu dan sekitarnya, orang-orang tua dulu sering menceritakan Arya Penangsang dengan nada hormat. Bukan sebagai penjahat, tapi sebagai pemimpin keras namun adil. Beliau sering dijadikan simbol bahwa orang jujur dan lurus justru sering kalah dalam permainan politik licik. Jujur ajur. Hingga alam Cepu mengingatkan, pentas ketoprak yang berani menampilkan lakon gugurnya Arya Penangsang, selalu terjadi kecelakaan kerja atau digagalkan dengan angin ribut yang menggagalkan pementasan.

Bagi masyarakat Jipang Raya, Arya Penangsang adalah bukti bahwa sahnya negara terletak bukan pada feodalisme, tapi pada penghormatan kepada wong cilik. Maka, membela Arya Penangsang tak sebatas membaca nostalgia sejarah, namun akan menjadi pernyataan politik, bahwa wong cilik adalah dasar sah berdirinya negara yang sebenar-benarnya.


Relevansi untuk Indonesia Modern

Mengapa kita harus repot-repot membaca ulang Arya Penangsang? Karena sejarah adalah cermin masa kini. Dan Jipang sebenarnya bagian dari sejarah Kabupaten Blora. 

  • Banyak pemimpin hari ini masih memandang rakyat kecil sepele.

  • Keadilan sering kali dikalahkan oleh intrik politik.

  • Rakyat kecil masih sering jadi korban kekuasaan.

Narasi alternatif tentang Arya Penangsang bisa menjadi inspirasi. Bahwa pemimpin sejati bukan yang licin di istana, tapi yang berani marah demi martabat rakyat banyak.


Dari Jipang untuk Indonesia

Sudah waktunya kita berani membalik narasi. Arya Penangsang tak sebatas tokoh kalah, tak hanya sebatas pemberontak gagal, namun beliau adalah simbol pemimpin perlawanan wong cilik terhadap feodalisme.

Sejarah alternatif ini mengingatkan kita bahwa negara sejati berdiri bukan di atas istana megah, melainkan di atas kehormatan wong cilik. Dari Jipang Cepu Raya, warisan sejarah ini pantas diwacanakan, diluruskan kembali.

Arya Penangsang adalah pemimpin yang marah bukan ketika bangsawan dihina, tapi ketika seorang buruh dipersekusi.

Dari Jipang Blora untuk Indonesia.

Penulis :  Heri Ireng 
Petani Persil Lingkungan PAKIS - Giyanti, Pengamat Budaya sejak 1992 yang terbiasa meditasi dan kotemplasi di lahan persil pinggiran hutan Jati.