Dari Blora untuk Dunia, Stop Pemborosan Kertas, Digitalisasi untuk Transparansi dan Good Governance
Di Blora, ada suara hati yang menyulut kegelisahan, berapa lama lagi kita akan tenggelam dalam lautan kertas? Dari administrasi ASN, laporan sekolah penerima BOP, dokumen desa, hingga ratusan bendel kontrak proyek, semua masih bergantung pada kertas. Setiap lembar berarti pohon yang hilang, tinta yang tumpah, gudang arsip yang sesak, dan biaya yang membengkak.
Inilah saatnya Blora memberi teladan, hentikan pemborosan kertas, lakukan digitalisasi, dan wujudkan transparansi publik. Dari Blora, untuk dunia.
Gunung Kertas dari Birokrasi Lokal
Bayangkan angka ini, lebih dari 115 juta lembar kertas dipakai setiap tahun di Kabupaten Blora untuk urusan administrasi rutin ASN, sekolah, pendamping sosial, desa, hingga laporan BOP. Itu setara dengan 231 ribu rim kertas, atau sekitar 13.800 pohon ditebang hanya untuk sekali pakai birokrasi.
Belum selesai sampai di situ. Ratusan proyek pembangunan di Blora — mulai dari jalan desa, sekolah, hingga irigasi — melahirkan ribuan dokumen, sedikitnya :
-
Kontrak, tebal berlembar-lembar.
-
Laporan harian dan mingguan, wajib dibuat rekanan.
-
Proses PHO (Provisional Hand Over) dan FHO (Final Hand Over), dokumennya bisa berlipat kali.
-
Dokumen pencairan, setiap kali minta termin, bendel baru harus disiapkan.
Dan semua ini masih ditambah dengan versi revisi atau koreksi. Karena stigma di lapangan, kalau tidak ada koreksi, justru dicurigai “tidak bekerja” atau “tidak cermat”. Artinya, satu dokumen bisa berulang kali dicetak, diantar, ditandatangani, lalu dicetak ulang lagi.
Koreksi yang Memboroskan Waktu dan Tenaga
Kertas hanyalah satu sisi cerita. Pemborosan sesungguhnya ada di balik prosesnya, misalkan :
-
Waktu, koreksi dokumen proyek bisa memakan berhari-hari, bahkan berminggu, hanya karena salah satu lembar salah ketik.
-
Tenaga, staf lapangan harus bolak-balik bawa bendelan dari kantor desa ke kabupaten, dari kontraktor ke konsultan, dari dinas ke BPKAD.
-
Biaya, transportasi, pulsa komunikasi, makan-minum perjalanan, semua ikut terbuang hanya demi satu lembar koreksi.
-
Psikologis, stigma “kalau tidak revisi berarti tidak teliti” membuat budaya koreksi terus hidup, meskipun sebenarnya dokumen sudah rapi.
Di sini, birokrasi kertas tidak hanya memboroskan ekonomi, tapi juga sosial. Orang sibuk mengurusi dokumen fisik daripada fokus pada kualitas pekerjaan dan pelayanan masyarakat.
Jejak Karbon dan Krisis Arsip
Setiap rim kertas berarti tambahan jejak karbon. Dengan konsumsi di atas 578 ton kertas per tahun, Blora ikut menyumbang lebih dari 1.100 ton CO₂ ke atmosfer. Itu baru hitungan kertas, belum termasuk semua yang berhubungan dengan :
-
Energi listrik printer dan fotokopi.
-
Produksi dan distribusi tinta/toner.
-
Perjalanan fisik antar kantor untuk urusan koreksi dokumen.
Arsipnya? Jangan tanya. Setiap tahun, puluhan ribu boks arsip menumpuk di gudang. Satu boks bisa berisi 2.000–2.500 lembar. Jika ditumpuk, luas lantai yang terpakai bisa menyaingi lapangan futsal. Padahal, sebagian besar dokumen hanya berlaku 5 tahun, lalu menunggu giliran dimusnahkan.
Biaya Tinta yang Tak Kalah Mencekik
Kertas hanyalah permukaan masalah. Tinta printer diam-diam jadi monster biaya.
-
Jika dihitung dengan tarif per halaman inkjet (Rp500/halaman), total biaya tinta bisa tembus Rp57 miliar per tahun.
-
Dengan mesin laser yang lebih efisien, masih tetap butuh minimal Rp11 miliar per tahun.
Belum lagi biaya jasa rental komputer untuk penyusunan LPJ atau laporan proyek. Untuk sekolah penerima BOP saja, jasa print bisa menghabiskan ratusan juta rupiah setahun.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Ketergantungan pada kertas tak hanya boroskan uang negara, tetapi juga berdampak ke kehidupan masyarakat, seperti :
-
Ekonomi keluarga ASN/pendamping, sering harus nombok biaya print dan transport sebelum diganti.
-
Ketimpangan digital, desa yang belum punya akses internet stabil lebih sulit masuk sistem digital, sehingga terus bergantung pada kertas.
-
Budaya birokrasi, staf dan rekanan lebih bangga menunjukkan bendel tebal daripada dashboard digital yang ringkas dan real-time.
Sementara di dunia luar, negara-negara maju sudah beralih ke e-government penuh dengan tanda tangan elektronik, audit digital, dan pengarsipan cloud.
Digitalisasi, Jalan Menuju Transparansi
Digitalisasi di Blora tak sebatas memindahkan kertas ke PDF. Sebagai bentuk nyata transformasi menuju arah :
-
Efisiensi, satu klik menggantikan puluhan lembar.
-
Akuntabilitas, setiap dokumen punya jejak audit digital.
-
Transparansi publik, laporan dan data bisa diakses masyarakat tanpa harus menunggu cetakan.
-
Good governance, birokrasi jadi cepat, bersih, dan ramah lingkungan.
Ya, digitalisasi butuh sistem sekuriti yang kuat, enkripsi, tanda tangan elektronik, server yang akuntabel, hingga regulasi yang jelas. Tapi biaya membangun sistem ini jauh lebih murah daripada pemborosan puluhan miliar tiap tahun untuk kertas dan tinta.
Dari Blora untuk Dunia
Blora bisa jadi teladan. Jika kabupaten kecil di Jawa Tengah mampu menekan pemborosan kertas dengan digitalisasi, itu berarti perubahan gak hanya monopoli kota besar. Gerakan stop kertas dari Blora bisa jadi inspirasi global.
Di era krisis iklim dan tuntutan transparansi publik, Blora menyampaikan pesan, good local governance dimulai dari keberanian meninggalkan pemborosan.
Tidak ada lagi gunung kertas, tidak ada lagi bendel revisi tak berujung, tidak ada lagi stigma koreksi sebagai bukti kerja. Yang ada adalah data yang terbuka, proses yang efisien, dan pemerintahan yang bersih.
Penulis : Heri Ireng
Petani Persil Lingkungan PAKIS - Giyanti, Pengamat Lingkungan sejak 1992 yang terbiasa meditasi dan kotemplasi di lahan persil pinggiran hutan Jati.