-->

Grebeg Gunungan dan Mereka yang Tersisih, Saat Tradisi Perlu Lebih Inklusif

Prosesi Grebeg Gunungan Kabupaten Blora diikuti antusias warga

Grebeg Gunungan, sejak dulu, selalu kita pahami sebagai pesta bersama. Bahan makanannya berasal dari para pejabat—kepala desa, camat, kepala UPTD—yang kemudian diarak keliling jalan sebagai simbol persembahan, pelayanan, sekaligus hadiah untuk rakyat. Mau disebut apa pun, intinya sama, makanan itu diniatkan untuk semua warga Kabupaten Blora, tanpa sekat kaya-miskin, tanpa kartu, tanpa syarat. Itu local wisdom yang hebat!

Secara simbolik, ini indah. Secara niat, ini luhur. Semua warga diberi kesempatan yang sama.

Namun di titik inilah, tradisi mulai bertabrakan dengan realitas.

Pada prosesi rayahan—atau dalam bahasa sehari-hari, rebutan—kesempatan yang “sama” itu berubah jadi kompetisi fisik. Siapa cepat, dia dapat. Siapa kuat, dia pegang. Yang paling antusias biasanya emak-emak dan anak-anak, dengan tawa, teriakan kecil, dan kegembiraan yang jujur. Kaum lelaki, seperti sudah ada kesepakatan tak tertulis, cenderung menahan diri, menjaga agar tidak ada yang jatuh, tidak terinjak, tidak chaos.

Dan memang, faktanya, hampir tak pernah terdengar laporan korban dalam rayahan Grebeg Gunungan. Ini patut diapresiasi. Ada kesadaran kolektif, ada etika yang masih dijaga.

Tapi… mari jujur sebentar.

Di balik kesenangan itu, yang tertinggal hampir selalu sama, sampah berserakan dan sekelompok warga yang sejak awal hanya bisa menonton.

Kaum difabel.

Mereka hadir. Mereka melihat. Mereka ikut bersuka cita dari pinggir jalan. Tapi ketika gunungan diturunkan, ketika aba-aba tak resmi dimulai, mereka otomatis tersingkir—bukan karena tak mau, tapi karena tak mungkin. Tradisi rayahan, seaman dan setertib apa pun, tetap berbasis pada kelincahan, kekuatan, dan kecepatan fisik.

Dan di situlah Grebeg Gunungan, tanpa sadar, berubah dari “untuk semua” menjadi “untuk yang mampu”.

Gunungan hasil persembahan pejabat diarak dalam peringatan Hari Jadi Blora

Ini bukan soal menyalahkan siapa-siapa. Bukan juga menuduh tradisi sebagai sesuatu yang keliru. Tradisi ini warisan leluhur, penuh makna, dan telah berjalan ratusan tahun. Tapi justru karena ia warisan, ia seharusnya cukup bijak untuk beradaptasi.

Pertanyaannya sederhana tapi begitu penting,
apakah adil jika sebuah persembahan untuk rakyat, tapi sebagian rakyat tak pernah benar-benar bisa menjangkaunya?

Sudah saatnya kita memikirkan satu langkah kecil tapi bermakna, yaitu
Grebeg Gunungan khusus untuk difabel.

Bukan mengganti, bukan menghapus, bukan mengurangi kemeriahan grebeg yang ada. Tapi menambah satu prosesi yang lebih manusiawi dan setara.

Bayangkan,
Gunungan tetap dibuat, tetap didoakan, tetap diarak dengan khidmat. Tapi setelah arak-arakan berakhir, gunungan tersebut tidak dirayahkan. Tidak direbut. Tidak diperebutkan. Melainkan dibagi rata kepada para penyandang disabilitas yang telah dipusatkan di titik akhir arak-arakan.

Bukan sebagai belas kasihan.
Bukan sebagai “jatah khusus”.
Melainkan sebagai pengakuan bahwa mereka juga bagian dari warga yang sejak awal disebut-sebut dalam filosofi Grebeg Gunungan.

Dengan skema seperti ini, makna persembahan justru naik kelas. Dari sekadar pesta dan kegembiraan sesaat, menjadi simbol pelayanan yang benar-benar inklusif. Para pejabat yang menyumbang bahan makanan pun tak sekadar “memberi”, tapi memastikan bahwa pemberian itu sampai kepada semua lapisan.

Dan soal sampah? Justru bisa ditekan. Karena tidak ada rebutan, tidak ada makanan jatuh, tidak ada plastik berhamburan karena kepanikan sesaat. Lebih tertib. Lebih bersih. Lebih bermartabat.

Tradisi tidak harus selalu dipertahankan secara mentah-mentah. Leluhur kita menciptakan budaya bukan untuk membelenggu masa depan, tapi untuk menuntun. Kalau hari ini kita hidup di zaman yang lebih sadar akan kesetaraan, aksesibilitas, dan martabat manusia, maka menyesuaikan tradisi bukanlah pengkhianatan—melainkan kelanjutan.

Grebeg Gunungan akan tetap meriah.
Rayahan akan tetap seru.
Emak-emak dan anak-anak tetap bisa pulang dengan senyum dan hasil.

Tapi di saat yang sama, kaum difabel tidak lagi hanya jadi penonton sejarah. Mereka ikut menerima, ikut merasakan, ikut diingat.

Dan mungkin, justru di situlah Grebeg Gunungan menemukan maknanya yang paling utuh, yaitu
bukan siapa yang paling cepat mengambil,
melainkan siapa yang harusnya tidak boleh dilupakan.