-->

Kritik Kirab Budaya Blora, Kesenian Lokal Menanti Dana Nyata

Bupati Blora Arief Rohman bersama Forkopimda dalam balutan busana Jawa, berjalan diapit Prajurit Tetabuhan dan Semut Ireng.

BLORA – Perhelatan akbar Kirab Budaya dalam rangka Hari Jadi ke-276 Kabupaten Blora, Sabtu (13/12/2025), berjalan semarak dan sukses memantik gairah ekonomi mikro. Namun, di balik pujian Bupati Arief Rohman terhadap kemeriahan dan partisipasi 44 peserta, muncul pertanyaan kritis tentang keberlanjutan dukungan nyata Pemerintah Kabupaten Blora terhadap para seniman dan pegiat budaya lokal di luar momen seremonial ini.

Mengusung tema “Nyawiji mBangun Blora, Akur Makmur Misuwur,” kirab yang berlangsung dari Pendopo Rumah Dinas Bupati hingga Kantor DPRD Blora ini berhasil menampilkan spektrum seni Blora secara utuh, dari Barongan, Tayub, hingga teatrikal sejarah. Dua peserta eksibisi, Bank Jateng dan Barongan Risang Guntur Seto, kian memperkuat daya tarik acara, memadati Jalan Pemuda hingga Jalan Ahmad Yani.

Geliat Ekonomi Sesaat

Secara ekonomi, acara yang berlangsung sejak pukul 08:00 WIB hingga 14:30 WIB ini memberikan nafas segar bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Para pedagang makanan dan minuman di sepanjang rute kirab dilaporkan meraup keuntungan signifikan. Ini membuktikan bahwa perhelatan budaya memiliki multiplier effect yang instan terhadap ekonomi kerakyatan.

"Penjual makanan, minuman nampak tersenyum lega karena dagangannya laris terjual," demikian laporan yang diterima.

Namun, pengamatan kritis diperlukan, apakah geliat ekonomi ini bersifat berkelanjutan atau hanya euforia sesaat? Perlu data lebih lanjut mengenai alokasi anggaran khusus UMKM pasca-acara, bukan hanya mengandalkan traffic dadakan dari kirab. Sektor pariwisata Cepu Raya yang sudah terbentuk ini, termasuk di kecamatan-kecamatan penyangga seperti Sambong, Kedungtuban, hingga Randublatung, harusnya mendapat dampak merata, tidak hanya terpusat di Blora Kota saat hari H.

'Nguri-uri' Budaya dan Konsekuensi Logisnya

Bupati Arief Rohman mengapresiasi tinggi gelaran ini sebagai upaya 'nguri-uri' seni budaya Blora dan menumbuhkan kebanggaan daerah.

"Generasi muda jadi lebih mengenal seni budaya daerahnya. Kebersamaan melalui kirab budaya seperti ini harus terus kita bangun..." ujar Bupati.

Pertanyaan logis yang muncul adalah :

  1. Anggaran Kesenian: Seberapa besar alokasi APBD Blora untuk pembinaan dan fasilitasi kesenian tradisional seperti Barongan dan Tayub, di luar biaya operasional kirab ini?

  2. Regenerasi Nyata: Apakah apresiasi yang diberikan sebanding dengan insentif untuk sanggar-sanggar agar mampu meregenerasi seniman muda secara konsisten, bukan hanya tampil satu kali di Hari Jadi?

  3. Infrastruktur Budaya: Apakah Blora memiliki gedung kesenian atau pusat pelatihan budaya yang representatif dan aktif sepanjang tahun untuk menampung seluruh kesenian yang tampil? Atau, jangan-jangan para seniman ini hanya 'keluar semua' karena ada momentum pejabat hadir?

Pujian terhadap 'Pasukan Hijau' (petugas DLH) yang gerak cepat membersihkan sampah memang layak diacungi jempol. Namun, semangat "gerak cepat" ini juga harus diterapkan dalam penyediaan dana abadi atau program nyata yang menjamin kesejahteraan para seniman, agar semangat Nyawiji tidak hanya berhenti di panggung kehormatan, melainkan meresap menjadi pondasi ekonomi dan budaya yang kuat dan terstruktur.

Kirab budaya telah sukses menyatukan Blora dalam kebanggaan visual. Kini, tantangannya adalah mengubah kebanggaan sesaat itu menjadi modal ekonomi-budaya tahunan yang terukur dan berkeadilan bagi seluruh pelaku seni.