Hutan Kota di Bojonegoro, Antara Harapan Tabebuya dan Tantangan Pule

Bupati Bojonegoro Setyo Wahono bersama Wakil Bupati Nurul Azizah menanam pohon pule di lokasi pencanangan hutan kota di bantaran Sungai Bengawan Solo, Kelurahan Ledok Kulon

Langkah Bupati Bojonegoro Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah mencanangkan hutan kota patut kita apresiasi. Di tengah derasnya pembangunan fisik, mereka menanam bibit pohon pule dan tabebuya di Lapangan Also, Ledok Kulon. Ini bukan sekadar menanam pohon, tapi menanam komitmen terhadap lingkungan hidup.

Kenapa pule dan tabebuya?

  • Pule (Alstonia scholaris) dikenal punya kemampuan menyerap polutan dan radiasi. Konon bisa juga menenangkan suasana, cocok untuk kawasan urban yang sumpek.

  • Tabebuya? Meski bukan asli Indonesia, warnanya yang cantik bisa bikin warga betah nongkrong di taman. Ada unsur psikologis di situ—warna cerah bikin hati cerah!

Langkah ini juga mencerminkan transisi mindset: dari eksploitasi ruang ke rehabilitasi ruang. Sebuah pendekatan yang layak didukung masyarakat.

🌿 Manfaatnya Buat Warga: Lebih dari Sekadar Pohon

Sebagai blogger lingkungan Kawasan Cepu Raya, kita bisa mengedukasi publik bahwa hutan kota bukan hanya untuk keindahan semata. Ada dampak nyata terhadap kualitas hidup:

  1. Kesehatan: Pohon menyaring polusi, menurunkan suhu, dan memperbaiki kualitas udara. Buktinya? Indeks kualitas udara Bojonegoro sudah bagus di angka 87,18.

  2. Psikologis: RTH yang cantik bisa jadi tempat healing alami. Stres warga berkurang, ruang sosialisasi bertambah.

  3. Edukasi dan rekreasi: Ruang publik ini bisa difungsikan jadi laboratorium alam. Anak-anak belajar ekologi tanpa harus ke laboratorium sekolah.

  4. Ekonomi lokal: RTH yang menarik bisa jadi magnet UMKM—jualan kopi, cilok, sampai kerajinan daur ulang.

🔍 Tapi Eits... Ini Sisi Kritisnya!

Kita tetap harus punya kacamata kritis sebagai kontrol sosial. Ada beberapa hal yang perlu kita soroti:

  1. Luas RTH yang Masih Minim
    Dari potensi 13 hektar, baru dimanfaatkan 1,6 hektar. Artinya, 11,4 hektar masih tidur. Kenapa belum digarap? Apakah soal anggaran? Tata ruang? Atau lahan itu sudah diincar jadi kavling-kavling?

  2. Risiko Pohon Estetika Tanpa Fungsi Ekologis Nyata
    Tabebuya itu cantik, iya. Tapi jangan sampai hutan kota jadi “hutan Instagramable” tapi tidak punya daya serap karbon atau manfaat ekologis signifikan. Perlu kajian lebih lanjut: apakah tabebuya tahan iklim lokal? Apakah daya hidupnya tinggi?

  3. Partisipasi Warga
    Jangan sampai warga cuma jadi penonton. Harus ada pelibatan aktif—baik dalam penanaman, pemeliharaan, maupun pengawasan.

  4. Pola Taman ‘Musiman’
    Banyak hutan kota di Indonesia hanya bagus saat baru diresmikan. Setelah itu jadi tempat pacaran gelap, atau bahkan sarang nyamuk karena tak dirawat. Harus ada sistem jangka panjang, bukan sekadar seremoni tanam.

✨ Gak Sekadar Nanam Pohon, tapi Nanam Masa Depan

Kalau benar setiap kecamatan punya hutan kota, maka Bojonegoro bisa jadi contoh kabupaten yang menyatukan pembangunan dan keberlanjutan. Tapi ini butuh lebih dari sekadar niat. Butuh manajemen, partisipasi warga, dan kontrol sosial yang sehat.

Kita, sebagai blogger lingkungan Kawasan Cepu Raya, bisa ambil peran: jadi penyambung suara rakyat, sekaligus penjernih informasi soal isu lingkungan.

Karena hutan kota bukan hanya tentang pohon-pohon tinggi, tapi tentang kehidupan yang lebih berarti.

📢 Usulan dari Blogger Cepu Raya Buat Blogger Bojonegoro

Sebagai bagian dari ekosistem informasi dan advokasi rakyat, blogger Bojonegoro yang kebetulan punya jarak lebih deket, bisa :

  • 📸 Posting Before-After Visuals dokumentasikan progres hutan kota, dari tanah kosong jadi hijau.

  • 📝 Wawancara Warga Lokal tanya apakah mereka merasakan dampaknya—biar ada suara akar rumput, bukan cuma pejabat.

  • 📊 Analisis Data Indeks Lingkungan bikin infografis tren kualitas udara, air, dan tutupan lahan Bojonegoro.

  • 💬 Bikin Kuis Pohon Lokal edukasi publik tentang manfaat pule, tabebuya, dan flora lokal lain.

  • 🐜 Jadi Mata RTH kalau taman tidak dirawat, kita viralkan secara elegan—bukan nyinyir, tapi reminder.

 Gitu deh.... salam persaudaraan dan hormat selalu...!