Tafsir Filosofis dan Sosial atas Misi Kabupaten Blora, Dalane Sangsaya Alus lan Padang, Banyune Mili Terus

Naga Bumi Penjaga Mata Air Bukit Cleweh Trisinan Giyanti Sambong Blora

Pembangunan infrastruktur kerap dimaknai sebagai upaya memperbaiki wujud fisik—aspal, beton, dan pipa air. Namun, di Kabupaten Blora, misi “Dalane Sangsaya Alus lan Padang, Banyune Mili Terus” mengisyaratkan makna yang lebih dalam dari sebatas pembangunan jalan dan saluran air. Artikel ini mencoba kupas makna filosofis dan sosial di balik misi tersebut, sekaligus mencermati praktik gotong royong yang hidup di masyarakat. Dengan mendasarkan pada visi “Sesarengan mBangun Blora Lebih Maju dan Berkelanjutan”, artikel ini mengajak pembaca untuk melihat pembangunan bukan sebagai proyek pemerintah semata, melainkan sebagai kerja kolektif seluruh warga Blora.

Misi Pembangunan sebagai Cermin Jiwa Kolektif

Blora telah lama akrab dengan jalan berlubang dan saluran air yang tak mengalir. Namun, problem itu bukan sekadar persoalan teknis. Ia adalah potret dari tantangan struktural sekaligus peluang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai gotong royong yang nyaris memudar. Melalui program prioritas “Dalane Sangsaya Alus lan Padang, Banyune Mili Terus”, Pemerintah Kabupaten Blora di bawah kepemimpinan pasangan ASRI (Arief Rohman & Sri Setyorini) mengangkat kembali persoalan dasar rakyat, akses, penerangan, dan air bersih. Namun lebih dari itu, misi ini sesungguhnya sedang memanggil kesadaran kolektif, untuk membangun jalan kehidupan bersama, yang terang dan mengalir, secara lahir dan batin.

Filosofi Jalan dan Air dalam Tradisi Jawa

Dalam tradisi Jawa, jalan bukan hanya infrastruktur, melainkan juga ruang etika. Jalan yang halus melambangkan komunikasi yang baik, hubungan sosial yang lancar, dan keterbukaan antarwarga. Jalan juga adalah simbol perjalanan hidup, yang hendaknya ditempuh tanpa hambatan, tanpa tipu daya.

Air, di sisi lain, adalah kehidupan itu sendiri. Air yang mengalir melambangkan keselarasan, keberkahan, dan kontinuitas. Dalam budaya petani Blora, air bukan sekadar kebutuhan pertanian, tapi juga memiliki aura spiritual, sumber kehidupan sekaligus sarana penyucian batin. Maka ketika pemerintah bicara tentang “banyu mili terus”, makna tersembunyinya adalah, kehidupan masyarakat Blora harus terus mengalir, lestari, dan menyatu dengan alam.

Membangun dengan Kesadaran, Bukan Hanya APBD

Realitas anggaran daerah tentu memiliki keterbatasan. Tapi pembangunan tidaklah harus selalu menunggu instruksi dari atas. Dalam semangat pembangunan partisipatif, rakyat adalah pelaku utama. Sejarah Indonesia mencatat banyak jalan desa, saluran irigasi, bahkan gedung sekolah dibangun oleh swadaya warga. Kini, semangat itu hidup kembali di Blora.

Program ini tidak sedang mencari alibi dari keterbatasan dana, tetapi membuka ruang tafsir bahwa pembangunan sejati terjadi saat masyarakatnya turut serta, bukan sekadar menjadi penonton atau penerima. Visi “Sesarengan mBangun Blora” bukan sekadar slogan, melainkan ajakan untuk menyatu dalam kerja kolektif demi keberlanjutan.

Gotong Royong sebagai Teknologi Sosial

Gotong royong bukan hanya warisan budaya, tapi juga “teknologi sosial” yang khas Nusantara. Ini adalah cara masyarakat mengatasi keterbatasan sumber daya dengan mengandalkan kekuatan solidaritas. Ketika masyarakat bergerak bersama, bahkan jalan rusak sepanjang ratusan meter bisa diperbaiki dalam satu akhir pekan.

Di Blora, praktik ini hidup kembali. Warga bahu membahu membawa batu, mencampur semen, bahkan memasak untuk para relawan. Di situlah letak nilai tambah pembangunan, bukan hanya hasil fisiknya, tapi juga jaringan sosial yang diperkuat.

Studi Kasus, Air Suci dan Jalan Harapan di Sambong dan Blora Raya

Di Desa Giyanti, Kecamatan Sambong, ada sekelompok relawan yang tak dikenal dunia luar. Tapi kerja mereka adalah denyut dari misi besar ASRI. Mereka mengalirkan air dari sumber mata air Mbaerun, juga dari Bukit Cleweh—sebuah kawasan yang dipercaya dijaga oleh makhluk gaib bernama Naga Cleweh. Air itu ditampung di bak-bak penampungan, lalu dibagi untuk puluhan warga kampung. Semuanya dilakukan tanpa APBD. Hanya dengan tekad dan gotong royong.

Di sisi lain, ada Sumber Mbakpakis yang dikenal mistis. Warga percaya bahwa belik di sana bisa menghidupkan kembali babi hutan yang tertembak pemburu bila sempat meminum airnya. Entah mitos atau metafora, yang pasti air itu telah menyelamatkan kebun-kebun tomat, cabai, dan sayuran milik petani hutan. Air mistis itu menjadi nyata dalam kehidupan ekonomi warga.

Sementara itu, di berbagai sudut Kabupaten Blora, dari Kunduran hingga Randublatung, jalan-jalan diperbaiki bukan oleh kontraktor, melainkan oleh tokoh-tokoh masyarakat sendiri. Ada Yuyus Waluyo dari Komisi B DPRD Blora, yang turun langsung menguruk jalan dengan dana pribadi. Ada Munawar dari Fraksi PKB yang bersama warga memperbaiki jalan rusak di kawasan pemukiman. Ada pula kepala desa, guru madin, dan tokoh budaya lokal yang menjadikan jalan sebagai tanggung jawab moral. Ini bukan gerakan simbolik, tapi perlawanan diam-diam terhadap mentalitas menunggu.

Menuju 2030, Menjaga Asa, Merawat Proses

Masa jabatan pasangan ASRI yang kemungkinan bisa diperpanjang hingga 2030 membuka peluang penting, menjaga kesinambungan gerakan. Tapi kelanjutan bukan hanya soal kekuasaan, melainkan tentang keberlanjutan nilai. Jika program ini berhasil menjadi gerakan warga, maka Blora telah mengubah paradigma, dari pembangunan sebagai proyek menjadi pembangunan sebagai peradaban.

Menyatu dengan Jalan dan Air

Jalan yang halus dan air yang mengalir adalah gambaran masyarakat yang saling terhubung, saling menghidupi. Di Blora, misi ini bukan hanya soal trotoar dan pipa, tapi juga soal keberanian bermimpi, gotong royong sebagai roh, dan partisipasi sebagai alat transformasi.

Maka, ketika kita membicarakan “Dalane Sangsaya Alus lan Padang, Banyune Mili Terus”, kita sedang bicara tentang masa depan yang dibangun bersama. Jalan itu akan terus kita tapaki. Air itu akan terus mengalir. Bukan hanya di atas tanah, tapi juga di lubuk hati sanubari.