Mengapa Wartawan Dilarang Menerima Amplop? Etika, Teori, dan Martabat Pers
Amplop dan Kontroversi di Dunia Jurnalistik
Dalam jagat jurnalistik Indonesia, kata amplop punya makna ganda. Di satu sisi, ia hanya lipatan kertas untuk menyimpan dokumen. Namun di ruang pers, amplop sering menjadi simbol gratifikasi: uang transport, tanda terima kasih, atau bahkan suap halus. Praktik ini dianggap wajar oleh sebagian orang, tetapi bagi dunia pers, amplop adalah noda yang bisa meruntuhkan martabat sebagai pilar demokrasi.
Mengapa Wartawan Dilarang Menerima Amplop?
Larangan ini berakar pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Wartawan tidak boleh menerima imbalan dalam bentuk apapun dari narasumber karena bisa mengganggu independensi. Wartawan bekerja demi publik, bukan demi pemberi amplop.
Denis McQuail dalam Mass Communication Theory menjelaskan bahwa pers dalam kerangka teori tanggung jawab sosial memang bebas, tetapi kebebasan itu selalu diikuti tanggung jawab moral untuk menyajikan berita yang benar, akurat, dan berimbang. Jika wartawan menerima amplop, kebebasan pers menjadi ilusi karena dibeli oleh kepentingan sempit.
Selain itu, teori agenda setting dari Maxwell McCombs dan Donald Shaw menegaskan: media tidak hanya melaporkan peristiwa, tetapi juga menentukan isu mana yang dianggap penting oleh publik. Jika amplop ikut bermain, agenda publik bisa digeser menjadi agenda pemberi amplop. Inilah akar bahaya: ruang publik dijual dalam lipatan kertas putih.
Mengapa Narasumber Dianggap Tidak Tahu Etika?
Ironisnya, narasumber sering merasa sudah berbuat baik saat memberikan amplop. “Sekadar ongkos bensin,” kata mereka. Padahal, tindakan itu justru mencederai etika.
Marcel Mauss dalam karyanya The Gift menjelaskan, setiap pemberian hadiah menciptakan konsekuensi timbal balik. Artinya, amplop bukanlah hadiah netral, melainkan kontrak sosial terselubung yang menuntut balasan berupa pemberitaan positif. Wartawan pun, sadar atau tidak, terikat utang budi.
Di sinilah prinsip impartiality (ketidakberpihakan) dan integrity (integritas) diuji. Wartawan seharusnya bekerja untuk publik, bukan untuk menyenangkan narasumber. Dengan memberi amplop, narasumber justru merendahkan profesi wartawan, seolah berita bisa dibeli.
Implikasi bagi Pers dan Demokrasi
Praktik amplop merusak kredibilitas media. Publik akan curiga: apakah berita ini lahir dari fakta atau dari uang? Jika informasi bias, demokrasi pun rapuh. Pers yang seharusnya menjadi watchdog publik berubah menjadi corong kepentingan.
Amplop bukan sekadar uang transport. Ia adalah racun halus yang melumpuhkan idealisme. Wartawan yang menerimanya menjual independensi, narasumber yang memberinya merusak martabat profesi.
Menjaga Martabat Pers
Amplop memang kecil, tetapi maknanya besar. Ia bisa menjadi simbol runtuhnya integritas pers. Karena itu, melawan budaya amplop bukan hanya tugas wartawan, melainkan juga narasumber, lembaga, dan publik.
Pers adalah cermin peradaban. Jika cermin itu ternodai amplop, wajah bangsa akan tampak buram. Menjaga pers tetap bersih berarti menjaga martabat demokrasi itu sendiri.