Mbah Lasiyo, Penjaga Nilai-Nilai Samin Klopoduwur yang Kini Berpulang
BLORA — Ada yang langsung kerasa hilang dari atmosfer Klopoduwur sejak Kamis malam itu. Bukan cuma sosok, tapi sebuah “penyangga nilai” yang selama ini diam-diam menjaga keseimbangan moral Sedulur Sikep. Mbah Lasiyo, sesepuh Komunitas Adat Terpencil (KAT) Samin Karangpace, wafat di usia 66 tahun di RSUP Dr. Kariadi Semarang (20/11/2025). Dan kepergiannya seperti memadamkan salah satu lentera terakhir penjaga jalan lurus Sikep.
Bupati Blora, Dr. H. Arief Rohman, M.Si., yang datang takziah bersama Forkopimda, tidak hanya melepas tokoh adat. Ia melepas seseorang yang selama ini menjadi sumber referensi hidup—versi paling jernih tentang kejujuran dan kesederhanaan.
“Beliau mengajarkan tentang kehidupan… tentang kebaikan, kejujuran, tidak boleh dengki atau iri,” kenang Bupati.
Walau diucapkan singkat, kalimat itu menggambarkan satu peran besar, Mbah Lasiyo adalah living archive dari nilai-nilai Samin—nilai yang tidak ditulis dalam buku, tapi diwariskan lewat laku, petuah, dan teladan sehari-hari.
Penjaga “Adil, Jujur, Ora Ngapusi”
Komunitas Adat Terpencil (disclaimer: dalam bahasa penyelenggaraan kesejahteraan sosial) Samin di Blora punya satu modal yang tak pernah luntur yaitu tentang nilai. Bukan sekadar identitas adat, tapi seperangkat pandangan hidup yang mematok standar tinggi soal integritas.
Dan di era yang serba tergesa, nilai-nilai ini gampang tergerus. Di titik itu, Mbah Lasiyo berdiri sebagai penjaga terakhir dari kearifan yang membuat Samin tetap Samin.
Beberapa nilai yang beliau jaga, ajarkan, dan ulang berulang,
-
Jujur tanpa tapi, bahkan ketika dunia di luar makin permisif.
-
Ngresiki ati, hidup tanpa dengki, iri, dan rasa benci.
-
Sesrawungan, merangkul siapa pun tanpa melihat pangkat, jabatan, atau asal-usul.
-
Tidak memperkeruh keadaan, memprioritaskan adem ayem sebagai dasar harmoni sosial.
-
Melestarikan budaya wayang, ritual Suro, dan adat Karangpace sebagai penanda peradaban.
Bagi Sedulur Sikep, orang yang mampu menjaga nilai bukan sekadar sesepuh—tapi pepunden, rujukan moral.
Dari Wayang hingga Suro, Kesetiaan pada Tradisi
Beberapa waktu sebelum jatuh sakit, Mbah Lasiyo masih meminta pagelaran wayang saat Suro. Sebuah isyarat bahwa bagi beliau, budaya adalah media untuk menjaga nilai tetap hidup.
“Ketika Suro, beliau selalu ingin ada pelestarian kebudayaan. Nguri-uri kebudayaan,” ujar Bupati Arief.
Kalimat itu menunjukkan bagaimana peran beliau bukan hanya simbolik, tapi operasional, memastikan tradisi tidak sekadar diperingati, tapi dihidupi.
Komunikasi Terakhir yang Penuh Makna
Ketika dirawat di RSUD Blora, Mbah Lasiyo masih bisa berkomunikasi dan bahkan sempat meminta doa. Bagi masyarakat Sikep, meminta doa bukan hal ringan—itu tanda bahwa seseorang sudah mengikhlaskan diri sepenuhnya pada perjalanan pulang.
Dan di titik itu, seorang penjaga menyerahkan tongkatnya kepada generasi berikutnya.
“Perjuangan Mbah Lasiyo bisa diteruskan oleh putra beliau dan tentunya kita semuanya,” harap Bupati.
Ini bukan sekadar harapan, tapi peringatan bahwa nilai yang tak dijaga akan hilang.
Klopoduwur Berduka, Tapi Juga Berjanji
Pelayat datang sejak pagi. Dari masyarakat adat, hingga tokoh nasional. Karangan bunga membanjiri halaman Pendopo Samin Karangpace. Sebelum dimakamkan di Situs Mbah Samin Suro Engkrek—lokasi yang sarat makna bagi Sedulur Sikep—jemaat mensholati almarhum di Masjid Baitul Hadi.
Semua ini menjadi tanda bahwa apa yang dijaga Mbah Lasiyo bukan warisan kecil. Ia adalah nilai budaya yang jadi benteng moral Blora.
Lebih dari Tokoh Adat — Beliau adalah Penjaga Peradaban Lokal
Dalam konteks sosial Blora, sosok seperti Mbah Lasiyo adalah “katalis keheningan” di tengah riuh zaman. Seseorang yang membuat orang lain ingat bahwa hidup itu bukan tentang kecepatan, tapi kedalaman.
Dengan kepergiannya, Klopoduwur seperti kehilangan equilibrium-nya. Tapi warisan nilainya? Itu yang justru akan diuji apakah tetap terawat oleh generasi berikutnya.

