Kades Sunardi Temengeng Menginspirasi, Swadaya Demi Jalan dan Ibu Hamil Blora
Siang itu langit Temengeng cerah, namun di sisi utara mulai mendung menghitam. Tak secerah langitnya, satu ruas jalanan Galuk - Perempatan Pasar Sore terasa tragis. Namun ketika saya turun langsung ke titik lokasi, persis di sisi barat PKD Temengeng. Yang saya temui bukan keluhan, tapi aksi, Kades Temengeng, H. Sunardi, berdiri di tengah jalan rusak, mengawal beberapa dump truk yang membawa pedel urug. Bukan proyek resmi. Swadaya. Dana pribadi. Demi warga, demi ibu hamil, demi misi Pemkab Blora pada point “dalane sangsoyo alus.”
Kondisi jalan ini sudah lama jadi mimpi buruk. Mobil warga nyungsep, gardan menggantung, dan mobilitas terganggu, apalagi saat hujan. Saya menyaksikan sendiri bagaimana warga harus dorong mobil secara beramai-ramai karena titik kerusakan jauh dari permukiman. Saat saya berbincang, Kades Sunardi mengatakan, “Saya khawatir kalau ibu-ibu hamil melewati sini. Bahayanya nyata.” Pernyataan itu bukan sekadar empati—itu alarm kemanusiaan.
Swadaya Tak Sekadar Tambal Jalan, Ini Tentang Hati dan Gotong Royong
Dalam pencarian saya terhadap data serupa, saya temukan bahwa aksi swadaya seperti ini bukan hal baru di Blora. Di Desa Plantungan, mereka mengecor jalan Kabupaten sepanjang 1 km dengan PADes/BUMDes, anggaran Rp 2,5 Miliar. Di Semanggi, warga menambah material setelah bantuan dari Pertamina dirasa kurang. Sambonganyar pun melakukan pengurukan pakai sirtu di tahun 2020. Saya menghubungi warga dan aparat desa, dan polanya konsisten, gotong royong sebagai respons atas kebutuhan mendesak yang belum tersentuh birokrasi.
Yang terjadi bukan hanya perbaikan darurat. Ini cerminan sistem yang punya celah, lambatnya alokasi anggaran, panjangnya proses APBD, dan ketidakmampuan menanggapi krisis lokal secara instan. Kepedulian warga seperti Sunardi adalah penopang harapan dalam sistem yang bergerak lambat.
Dari Lubang ke Nyawa, Infrastruktur Bukan Sekadar Aspal
Saya sempat mendokumentasikan kesaksian warga. Petani dari Janjang, Kecamatan Jiken, mengeluhkan ongkos panen naik karena akses terganggu. Guru sekolah di Galuk pun menyebutkan tingginya absensi siswa karena jalur transportasi buruk. Saat saya berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, mereka tegaskan, guncangan ekstrem dari jalan rusak bisa picu kontraksi rahim dan bahkan keguguran pada ibu hamil. Bukan teori, ini risiko nyata. Jalan rusak berarti ancaman pada generasi masa depan.
Pemerintah Bergerak, Tapi Realitas Tak Menunggu
Saya menelusuri jalur resmi, DPUPR Kabupaten Blora menyebut jalan ini akan masuk APBD Perubahan. Saya juga mengamati bahwa KUA-PPAS APBD 2025 telah disepakati. Saya amati proses pengajuan pinjaman jangka menengah Rp 205–215 Miliar, termasuk dana Rp 2,5 Miliar untuk peningkatan ruas Galuk–Temengeng. Tapi tetap saja, semuanya butuh waktu. Proses birokrasi berjalan, namun kebutuhan warga tak bisa menunggu.
Saya bertemu langsung dengan salah satu tim DPUPR dan mencermati dokumen prioritas anggaran. Keterbatasan anggaran pemeliharaan membuat jalan seperti yang dikeluhkan Kades Sunardi tidak selalu masuk prioritas. Padahal, dampaknya luas.
Sinergi dari Bawah, Mengawal Misi “Dalane Sangsoyo Alus”
Saya melihat aksi Kades Sunardi ini sebagai manifestasi nyata dari visi Bupati Arief Rohman. Sebagai pengamat kebijakan publik yang mengawal pembangunan Blora, saya tahu persis bahwa misi "Dalane sangsoyo alus lan padang" bukan sekadar jargon, tetapi janji infrastruktur berkualitas. Tapi, seperti yang saya temui di lapangan, visi besar harus ditemani respons cepat dan dukungan komunitas.
Peluang Kolaborasi dan Harapan ke Depan
Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2023 tentang jalan daerah bisa jadi solusi. Saya telah menghubungi pejabat Kementerian PUPR dan melihat peluang hibah pusat ke daerah. Tapi tetap, komunikasi pemerintah daerah dan transparansi menjadi kunci. Warga menanam pohon pisang di jalan bukan karena ingin viral—karena mereka putus asa. Saya membaca keluhan mereka setiap hari di media sosial dan grup diskusi Blora dan Cepu Raya.
Menutup Langkah, Membuka Jalan
Aksi Kades Sunardi adalah cermin masyarakat Blora yang tak menyerah. Saya menuliskannya karena saya melihatnya langsung, menyentuh kerikil dan debu jalan yang rusak, berbincang dengan warga terdampak, dan menggali dokumen anggaran serta misi pembangunan.
Sebagai warga Blora yang peduli dan penulis yang turun langsung, saya percaya jalan yang halus bukan sekadar cita-cita—tapi hak dasar. Dengan sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan swasta, bukan mustahil senyum warga Blora makin merekah saat roda ekonomi berputar lancar di atas aspal yang layak.
Oleh Heri Ireng – Pengamat Kebijakan Publik dan Blogger Blora