Ketika Qiana Sakit, Di Saat Langit Ngloram Tertunduk, JPKP Nasional Blora Segera Bergerak
Cerita ini bermula pada 24 Juni lalu. Di sudut kecil Desa Ngloram Kecamatan Cepu, di sebuah rumah bersahaja di RT 001 RW 002, seorang gadis kecil bernama Qiana Dhenta Adisti terbaring lemah. Tubuhnya menggigil meski matahari belum tenggelam sepenuhnya. Demam tinggi menari di kulitnya, muntah datang silih berganti, dan nadinya terasa seolah kehilangan arah.
Di luar, langit Ngloram seperti ikut tertunduk. Angin hanya berani berdesir pelan. Seolah tak ingin mengganggu tidur seorang anak yang sedang berperang melawan nyeri yang tak ia mengerti. Ayahnya jauh di kota besar, bekerja sebagai buruh bangunan di tengah belantara beton Jakarta. Ibunya hanya bisa menatap pasrah, dengan tangan dingin menggenggam telapak kecil yang makin pucat.
Suara Hati Warga dan Telinga yang Mendengar
Di saat banyak mata memilih untuk memalingkan wajah, ada satu nama yang tetap bersedia menengok derita, JPKP Nasional Kabupaten Blora. Ketika kabar itu mengalir dari bibir seorang warga, tidak ada keraguan di hati Siswanto, dari Divisi Kesehatan JPKP Nasional Kabupaten Blora.
Ia tidak mengajukan banyak pertanyaan. Ia hanya bertanya satu hal, “Di mana anak itu sekarang?”
Tanpa membuang waktu, ia mencari kunci harapan. Ia menghubungi mobil siaga milik MWC NU Cepu. Dan seperti telah ditulis di takdir malam itu, mobil itu tidak sedang jauh. Ia tidak sedang rusak. Ia sedang menunggu panggilan tugas kemanusiaan.
Dalam Pelukan Mesin Tua, Menuju Rumah Sakit dengan Doa
Qiana diangkat, dipeluk dengan hati-hati oleh tangan-tangan yang tak ingin membuatnya semakin sakit. Diiringi isak pelan ibunya, mobil siaga NU melaju menyusuri jalanan Cepu yang mulai diselimuti senja.
Tak ada sirine, tapi setiap detak jantung di dalam mobil itu terasa lebih nyaring dari klakson kendaraan mana pun. Karena yang mereka bawa bukan hanya tubuh lemah seorang anak, tapi juga harapan sebuah keluarga kecil yang hidup di pinggir kehidupan.
Rumah Sakit yang Tidak Bertanya Status, Tapi Memberi Tindakan
Setibanya di RSUD dr. R. Soeprapto Cepu, keajaiban kecil terjadi. Para petugas medis tidak bertanya lebih dulu tentang kartu BPJS, atau siapa nama ayahnya. Mereka hanya melihat seorang anak yang butuh diselamatkan.
Dokter memeriksa. Perawat menyambut. Dan diagnosis pun terucap seperti bisikan nasib, yaitu, Demam Berdarah Dengue. Bercak mulai tampak, meski belum menjalar seperti badai. Tapi cukup untuk membuat hati siapa pun bergidik.
SKTM, Sepotong Kertas, Seluas Samudra Harapan
Keluarga Qiana tak punya BPJS. Tapi malam itu, Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) menjadi jembatan. Bukan sekadar administrasi, tapi restu yang menjamin bahwa siapa pun yang lemah tetap punya hak untuk sehat.
Melalui sinergi yang sunyi namun nyata—antara JPKP, RSNU Cepu, dan RSUD—seorang anak dari desa kecil bisa tetap bernapas lega. Tak ada bendera besar yang dikibarkan. Tak ada publikasi megah. Tapi ada cinta yang bekerja tanpa panggung.
Terima Kasih yang Tak Terucapkan, Tapi Terasa Menyesakkan
Seorang ibu menyeka air matanya di bangku tunggu RSUD. Ia tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa. Tapi malam itu, doa-doanya menggantung di langit-langit ruang anak rumah sakit. Doa yang menyebut satu per satu nama, Pak Siswanto JPKP Nasional, pengurus RSNU, perawat RSUD, dan semua tangan tak terlihat yang telah menolong anaknya.
Dan di luar rumah sakit, langit Ngloram tidak lagi tertunduk. Ia perlahan cerah. Karena di bawahnya, seorang anak kecil bernama Qiana sedang kembali menyusun napas, satu demi satu, seperti puisi yang disusun pelan-pelan oleh Tuhan.
Catatan Penulis
Barangkali kita tidak bisa menyembuhkan semua luka. Tapi bila satu tangan di desa bisa digenggam oleh tangan lain di kota, dunia ini akan tetap hangat. Dan kisah Qiana akan jadi nyala kecil yang abadi. Bukan karena ia disiarkan di layar kaca, tapi karena ia lahir dari kasih yang bekerja diam-diam. (Ditulis oleh Heri ireng berdasar laporan Ketua JPKP Nasioal Kabupaten Blora - Nenes Cepu)