Mengunci Celah Korupsi dari Blora, Strategi Pencegahan Pengadaan Bermasalah di Kawasan Cepu Raya

Infografis strategi antikorupsi pengadaan barang/jasa di Cepu Raya—menampilkan pilar transparansi digital, audit partisipatif, dan simulasi pengawasan proyek

Di Ujung Timur Blora, ada sebuah asa berproses. sebuah kawasan tempat industri dan budaya bertemu— Cepu Raya. Wilayah yang terdiri dari Sambong, Cepu, Kedungtuban, Kradenan, Randublatung, dan Jati ini tidak sebatas peta administratif, tapi sebuah laboratorium hidup bagi pembangunan daerah. Pemerintah Kabupaten Blora menyiapkan anggaran Rp1,2 triliun untuk mentransformasikan kawasan ini pada 2024–2029. Namun, di balik semangat pembangunan, terbit bayang-bayang korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa.

Tak sulit menebak, pengadaan publik di Indonesia masih kerap identik dengan pengaturan lelang, “fee proyek”, dan monopoli pejabat terhadap panitia tender. Jika tidak diintervensi lebih dini, Cepu Raya bisa jadi hanya cerita pembangunan yang berakhir dengan OTT. Mengapa kita boleh khawatir?

Pembangunan, Peluang Emas atau Gerbang Praktik Licik?

Pembangunan masif kerap jadi lahan subur penyimpangan. OTT terhadap Topan Ginting (Kadis PUPR Sumut) pada awal 2025 membongkar skema klasik, rekayasa e-katalog, kolusi dengan rekanan, serta pengontrolan internal PPK oleh pejabat tinggi dinas. Dengan suap senilai 5% dari total nilai proyek, sistem e-procurement seolah tak lagi steril. Mengajari komputer berbohong? Itu memalukan.

Kini, Blora berada di persimpangan yang sama. Anggaran revitalisasi Taman Budaya Cepu sebesar Rp133,69 miliar (sumber :  Radar Kudus senada dengan laporan Akhmad Nazaruddin di Antara) bukanlah jumlah kecil, dan kompleksitas lintas sektor membuat risiko fragmentasi pengawasan makin tinggi. Penelitian ini bukan sekadar alarm bahaya, tapi tawaran konkret tentang cara menyegel celah sebelum korupsi datang tanpa terasa.

Menelisik Anatomi Korupsi Pengadaan di Tanah Jawa

Dengan menggunakan kerangka Fraud Triangle (Cressey, 1953), kita bisa membedah aspek-aspek pemicu korupsi dalam pengadaan, yaitu :

  1. Pressure muncul dari ambisi pembangunan yang tinggi namun waktu dan anggaran terbatas.
  2. Opportunity lahir karena lemahnya LPSE lokal, plus minimnya auditor (hanya 12 orang) di Inspektorat Blora.
  3. Rationalization tumbuh subur dalam budaya birokrasi yang permisif terhadap praktik "bagi-bagi proyek".

Bukti empiris dari OTT Kemenhub 2023 serta proyek fiktif “lampu pocong” di Medan memperkuat kekhawatiran, tanpa peringatan dini, Cepu Raya hanya tinggal menunggu gilirannya.

Empat Pilar Pencegahan Korupsi, Dari Teknologi hingga Kolektif Sosial

1. Pilar Transparansi Digital

Bayangkan jika semua jejak pengadaan terekam secara otomatis di blockchain, tak bisa dihapus, tak bisa disembunyikan. Sistem e-Procurement 2.0 diusulkan mengadopsi teknologi ini—mengikuti jejak Pemerintah Georgia yang berhasil menurunkan potensi korupsi pengadaan hingga 35%.

Di sisi lain, algoritma AI bisa dilatih untuk mendeteksi plagiarisme dokumen penawaran atau anomali yang biasa muncul dalam dokumen lelang. Ditambah dengan dashboard terbuka untuk publik, proyek besar seperti sambungan jalan antarkecamatan atau taman budaya akan ada dalam radar warga, bukan hanya auditor semata.

2. Pilar Pengawasan Partisipatif

Korupsi akan sulit bernapas jika warga ikut mengawasi. Forum Pengawas Desa (FPD) jadi garda sipil yang melibatkan perwakilan dari 6 kecamatan. Mereka bukan sekadar dijadikan simbol formalitas, tapi hendaknya dibiarkan sebagai aktor pengaudit berbasis modul dari KPK. Ditambah aplikasi “Blora Lapor” yang terhubung ke sistem nasional, laporan penyimpangan tak perlu waktu lama untuk naik ke permukaan lebih terbuka.

3. Pilar Kelembagaan Anti-Korupsi

Blora perlu lebih dari sekadar niat, butuh struktur. Satgas Cepu Raya menjadi ujung tombak pencegahan. Dengan kewenangan rotasi PPK, kode etik ketat berbasis ISO 37001, dan pendampingan langsung dari KPK dan LSM lokal, sistem ini lebih tahan, atau mungkin lebih imun terhadap intervensi politik atau konflik kepentingan yang mungkin terjadi pada pelaksanaannya.

4. Pilar Audit Prediktif

Audit tak harus datang di akhir. Dengan risk mapping berbasis AI, titik-titik rawan bisa dipetakan dari awal. Bahkan, jika ditemukan indikasi potensi “fee proyek” di atas 5%, alarm sistem bisa aktif otomatis. Ditambah audit acak oleh BPK, tak akan mudah lagi memfiktifkan volume pekerjaan atau memark-up harga materialnya.

Taman Budaya Cepu, Simulasi Implementasi Inovasi

Mari uji model ini di proyek revitalisasi Taman Budaya Cepu.

  • Tahap Perencanaan, Publik bisa akses RAB secara terbuka. Tim arsitektur independen dari UGM dilibatkan untuk menelaah spesifikasi—menghindari desain penuh jebakan.
  • Tahap Pengadaan, Seluruh proses lelang tercatat di blockchain, peserta diverifikasi dengan e-KTP, panitia dikawal FPD melalui livestream, dan AI mengendus pola manipulasi dokumen.
  • Tahap Pelaksanaan, Material konstruksi diawasi lewat sensor IoT, lokasi proyek ditandai GPS, serta saluran pengaduan dibuat end-to-end encrypted untuk lindungi pelapor.

Apa yang Bisa Dicapai Dari Semua Ini?

Simulasi menunjukkan model ini, paling tidak, akan mampu :

  1. Mengurangi potensi mark-up hingga 35% seperti di Georgia
  2. Mempercepat deteksi penyimpangan dari 18 bulan menjadi 3 bulan
  3. Meningkatkan partisipasi warga melalui “Blora Lapor” (target 1.000 pengguna aktif)

Namun tak ada sistem yang ajaib. Tanpa komitmen politik dan dukungan anggaran untuk teknologi dan pelatihan, pencegahan hanya jadi jargon belaka.

Cepu Raya, Wajah Masa Depan Blora

Cepu Raya bagai sebuah cermin. Apakah kita membiarkan sejarah seperti Topan Ginting terulang di Blora —atau menulis babak baru dalam pembangunan daerah yang akuntabel? Artikel ini tumbuh di antara jagung tua yang belum kunjung dipanen di pinggiran hutan Giyanti Sambong Blora,  menggarisbawahi tentang satu hal, yakni menghindari korupsi bukanlah soal niat belaka, tapi perlu rekayasa sistem yang mencegah sejak dini. Dan itu semua bermula dari masing-masing hati. 

Jika langkah ini diambil, Blora tidak sebatas membangun jalan atau gedung, tapi juga sedang membangun sebuah kepercayaan publik.